07 Oktober, 2011

HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM

          HUKUM ASURANSI DALAM ISLAM
          Hampir semua ulama sepakat mengenai pentingnya asuransi dalam kehidupan sosial. Namun mereka berbeda pandangan ketika berbicara mengenai hukum dari Asuransi, dilihat dari sudut fiqh Islam.
          Secara umum, pandangan ulama terhadap asuransi terwakili dalam tiga golongan pendapat,
                1. Golongan pendapat yang menghalalkan asuransi.
                2. Golongan pendapat yang mengharamkan asuransi.
                3. Golongan pendapat yang memperbolehkan asusuransi dengan syarat-syarat dan catatan-catatan tertentu.
          Diantara ulama yang menghalalkan asuransi adalah :
                Syekh Abdul Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa, Abdurrahman Isa, Bahjat Ahmad Hilmi dsb.
          Diantara alasan pendapat yang menghalalkan asuransi adalah
                1. Tidak adanya nash Qur’an maupun hadits yang melarang.
                2. Peserta asuransi dan perusahaan sama-sama rela dan ridha.
                3. Tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak.
                4. Asuransi bahkan memberikan keuntungan kedua pihak.
                5. Asuransi termasuk akad mudharabah, peserta sebagai shahibul mal dan perusahaan asuransi sebagai mudharibnya.
                6. Usaha asuransi sangat menguntungkan kemaslahatan umum.
          Diantara ulama yang mengharamkan asuransi adalah
                Syekh Ahmad Ibrahim, Sayid Sabiq, Muhammad Abu Zahrah, Abdullah Al-Qalqili, Syekh Muhammad Bakhit Al-Mu’thi’i, dsb.
          Diantara alasan pendapat yang mengharamkan asuransi adalah:
                1. Asuransi mengandung unsur perjudian (maisir/ qimar)
                2. Asuransi mengandung unusr ketidak jelasan dan ketidak pastian (gharar).
                3. Asuransi mengandung unsur riba.
                4. Potensi terjadi dzulm bagi nasabah yang tidak bisa melanjutkan pembayaran premi, yaitu berupa hilang atau hangusnya premi yang telah dibayarkannya.
                5. Asuransi termasuk akad sharf, yaitu terjadinya tukar menukar uang, namun tidak sama dan juga tidak tunai.
          Pendapat yang paling mu’tadil dalam masalah asuransi adalah pendapat yang ketiga, yaitu diperbolehkannya asuransi dengan syarat-syarat tertentu. Alasannya adalah :
                1. Dalam muamalah hukum asalnya adalah boleh (ibahah), selama tidak ada nash yang malarangnya.
اْلأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
                2. Asuransi sudah menjadi dharurah ijtima’iyah, khususnya di negera-negera maju.
          Diantara syarat-syarat diperbolehkannya asuransi :
                1. Menghilangkan unsur-unsur yang diharamkan yang terdapat dalam asuransi, yaitu gharar, riba dan maisir.
                2. Merubah sistem asuransi yang bersifat jual-beli (tabaduli) menjadi sistem yang bersifat tolong menolong (ta’awuni), di mana peserta asuransi saling tolong menolong terhadap peserta lain yang tertimpa musibah.
                3. Konsekwensinya adalah menjadikan premi yang dibayarkan peserta sebagiannya dijadikan tabarru’, (hibah/ derma) yang dikelola dalam satu fund khusus, yang peruntukkannya khusus untuk memberikan manfaat asuransi.
                4. Pengelolaan dana atau infesetasinya haruslah pada proyek-proyek yang sesuai degnan syariah.